Minggu, 09 Desember 2012


Rukun dan Syarat Akad Nikah

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albanirahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsahkecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnotes:
  1. Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
  2. Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
  3. Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
  4. Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633)


Sabtu, 01 Desember 2012








                                  #Menentukan Pasangan Dalam Hidup#

Sebenernya bahasan ini udah terulang berkali-kali. Tapi mungkin dulu ada yg terlewat. Tak apalah saya bahas ulang, mumpung masih liburan, yg penting manfaat sajalah buat semua.

Ada banyak kriteria yg bisa diambil. Imam Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin juga menyebutkan bahwa ada delapan perkara yang perlu diperhatikan tatkala hendak memilih pasangan hidup, an
 tara lain:

1. Keshalihan dalam beragama. Ini merupakan yang paling utama.
2. Berakhlaq mulia
3. Memiliki keelokan wajah dan fisik
4. Tidak menuntut mahar yang berlebihan
5. Berpotensi untuk memiliki banyak anak
6. Masih lajang
7. Berasal dari keluarga terhormat
8. Tidak berasal dari keluarga dekat

Jamak kita ketahui, bahwa kriteria yang disampaikan oleh Al-Ghazali adalah ringkasan dari sekian banyak hadist Rasulullah.

Sekali lagi, ini fitrah manusia yang memang menyukai keindahan. Kaum pria menyukai kecantikan, begitu pun kaum wanita juga menyukai ketampanan. Masih ingat dengan kisah perempuan istana yang terkagum-kagum dengan ketampanan Yusuf?. Masih ingat dengan puteri Syu’aib yang terpesona dengan kegagahan dan ketampanan Musa?. Ibnu al-Jauzi dalam Ahkaamun Nisa’ juga memberi nasehat pada kaum wanita, “Disukai bagi yang hendak menikahkan anak gadisnya agar memilih pemuda yang bagus parasnya. Karena kaum wanita juga menyukai apa yang disukai oleh kaum lelaki”.

Tetapi bagaimana pun juga, keshalihan adalah yang paling utama. Jangan sampai menyibukkan diri dengan mempercantik paras lantas melupakan memperbaiki akhlak. Jangan sampai menghabiskan waktu untuk memperindah raga sementara jiwa menjadi terlupa. Karena yang dituntunkan oleh agama, akhlak adalah yang pertama dan paling utama. Bahkan Rasulullah sudah dengan jelas mewanti-wanti, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya. Bisa jadi kecantikannya akan menjadikannya hina” (HR. Ibnu Majah).

Al-Hafizh Ibnu Hajar pun menuturkan sebuah nasehat bijak saat menjelaskan tentang sabda Nabi yang artinya, “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dank arena agamanya. Maka hendaklah engkau mendapat wanita yang baik agamanya agar engkau beruntung dan tidak merugi” (HR. Bukhari).
 





1. ada tanya saat materi ta'aruf disampaikan | "akankah menikah tanpa pacaran, melihat realita yg pacaran saja bisa tak langgeng?"
2. itulah anggapan ta'aruf bagaikan membeli kucing dalam karung | tak tahu seperti apa wanita yg akan dinikahi karena tak pacaran
3. dikhawatirkan dengan ta'aruf, bila telah menikah keduanya tak saling kenal | sulit jalani kehidupan rumah tangga yang baik
4. padahal pa
 caran pun tak menjamin dia kenal | ramai yang lakukan tahunan maksiat berpacaran namun justru tak jadi menikah dengannya
5. atau yg lewati puluhan musim bersama | tapi kandas dalam hitungan bulan usai langsungkan akad pernikahan | pacaran itu bukan kenalan
6. dendang "kaulah segalanya" lalu "menghitung hari" penuh romansa saat pacaran | berganti "separuh jiwa pergi" saat nikah, itu fakta :)
7. beralasan pacaran bisa saling kenal, lalu mengapa backstreet jadi pilihan? | kenapa tiada keberanian saat hadapi ayahnya?
8. bilapun saling mengenal, sepertinya pacaran khususkan pada satu hal | kenali bagian tubuh pasangan | tanggung jawab tentu hanya impian
9. boleh karenanya dikatakan | bahwa pacaran lebih mirip beli kucing dalam karung | bahkan tak bisa kenali pasangan pasca pernikahan
10. saat jatuh ketika pacaran "aduhai cinta, adl salah jalan berlubang, dirimu jadi terluka" | pasca nikah "kemana matamu?!"
11. saat sulit ketika pacaran "apa yg buatmu sulit dinda? akan abang singkirkan" | pasca nikah "mandirilah! kamu kan sudah sekolah!"
12. pacaran memang serasa indah (hanya sesaat sebelum galau tangis menghampiri) | karena itulah pacaran pasti banyak galaunya
13. pacaran memang serasa berbunga, umbar sayang cinta demi nafsu sebentar | karena memang tiada pikirkan tentang masa depan
14. jadi jelas | pacaran tak jamin kenal, bahkan tidak ada sama sekali keuntungannya | eh, mungkin bagi lelaki hidung belang ada untungnya
15. karena itulah Islam melarang pacaran dan aktivitas didalamnya seperti khalwat, umbar maksiat dan nekad baku syahwat
16. Islam punya khitbah lalu ta'aruf, ta'aruf sendiri artinya adalah perkenalan | sehingga tak beli kucing dalam karung
17. saat ta'aruf, perkenalan terjadi tanpa motif syahwat karena harus ditemani mahram | perkenalan benar perkenalan tanpa bumbu maksiat
18. saat ta'aruf, konfirmasi dan doa bukan hanya datang dari wanitanya | tapi dari yang miliki wanita, ayah dan ibunya
19. dan coba pikirkan | bukankah kedua insan yang cintai Zat yang sama, Allah | maka mereka akan saling mencintai satu samalain?
20. cinta dan benci mereka sama, pandangan tentang baik dan buruk mereka sama | standarkan aturan Allah dan lisan Rasul-Nya
21. bila sama-sama menjaminkan urusannya pada Allah, maka apa yang bisa membuat pasangan ini bertengkar hebat? | hampir tak ada
22. bilapun ada masalah, hanya riak kecil pernikahan | cemburu yang buat nikmat bercumbu, rajukan yang buat nikmat merayu | ah itu biasa :)
23. tak ada yg dikhawatirkan oleh istri, karena ridhanya Allah, dan suami terkeren baginya adalah suami yang menaati Allah
24. istri tak khawatirkan suami bermain dengan wanita lain, kasar pada dirinya, tak tanggung jawab padanya, karena suaminya menaati Allah
25. suami pun tak sekalipun khawatir pada istrinya, karena istrinya taat pada Allah, itu menjamin taatnya istri pada suami
 





Banyak orang yang BERPACARAN berkata:
Kami PACARAN "Gak ngapa-ngapain kok", Ini
adalah ucapan DUSTA.
Minimalnya orang yang PACARAN itu telah
ZINA HATI, karena mereka mencintai
berlebih diatas KEHARAMAN.
Padahal kalau orang udah NIKAH, "Mau
ngapa-ngapain juga gak apa-apa" (Halal dan
Berpahala).
Rasulullah -Shollallohu 'Alaihi wa Sallam-
bersabda: "Ditetapkan atas anak Adam
baginya dari zina, akan diperoleh hal itu,
tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan
zinanya dengan memandang (yang haram).
Kedua telinga itu berzina, dan zinanya
dengan mendengarkan (yang haram). Lisan
itu berzina, dan zinanya dengan berbicara
(yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan
zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina,
dan zinanya dengan melangkah (kepada apa
yang diharamkan). Sementara, hati itu
(zinanya adalah) berkeinginan dan
berangan-angan, sedangkan kemaluan yang
membenarkan semua itu atau
mendustakannya". (HR. Muslim no. 2657)
 





Jodoh memang ditangan Tuhan, tapi kalo nggak dijemput, ya ditangan Tuhan terus. Kita kan nggak tahu jodoh kita siapa, maka berusahalah menjemput yg terbaik. Khadijah tak tahu kalo jodohnya adalah Muhammad. Yg ia tahu, Muhammad adalah jodoh yg diidamkannya, maka ia pun menjemput jodohnya dg mengungkapkan cintanya.

Menanti jodoh, rezeki, kematian, bukan dg diam pasrah menunggu. Nantilah dg berperilaku yg baik, berperasangka yg baik, dan memohon yg baik. Tuhan hanya menjodohkan manusia dg orang yg tepat baginya....

Kamis, 29 November 2012


                                                         "RENUNGKAN"
ALLAH menguji keikhlasan bila bersendirian.
ALLAH memberi kedewasaan bila ada masalah.
ALLAH melatih kesabaran dalam kesakitan.
ALLAH tak pernah mengambil sesuatu yang kita sayang kecuali menggantikan dengan yang lebih baik.

Alih matamu ke laut, airnya cantik membiru dan penuh ketenangan, tapi hanya ALLAH saja yang tahu rahasia di dalamnya.

Begitulah dengan kehidupan ini, riang tawa, hanya ALLAH juga yang tahu rahsia kehidupannya, jika rasa kecewa, pandanglah sungai, airnya tetap mengalir walaupun berjuta batu menghalang, jika rasa sedih, pandanglah langit, dan dirimu akan sedar bahwa ALLAH senantiasa bersamamu


• Ketika dirimu gelisah...
Sentuhlah hatimu dengan lantunan ayat-ayat cinta dalam kitab suci Al-Qur'an.

• Ketika kau lemah...
Rangkum kembali makna-makna kebersamaan bersama saudara-saudaramu agar saling menguatkan.

• Ketika kau lelah dan mulai putus asa...
Maka Allah swt akan tersenyum padamu...
YAKINLAH tiada usaha halal yg sia-sia...

• Ketika peluh dan kerja tak dihargai...
Maka ingatlah saat itu kita sedang belajar tentang KETULUSAN...

• Ketika usaha keras kita dinilai sia-sia oleh orang lain...
Maka saat itu kita sedang memaknai KEIKHLASAN...

• Ketika hati terluka dalam karena tuduhan atas hal yang tak pernah kita lakukan...
Maka saat itu kita sedang belajar tentang MEMAAFKAN...

• Ketika lelah mendera & kecewa menerpa...
Maka saat itu kita sedang belajar memaknai tentang arti KESUNGGUHAN...

• Ketika sepi menyergap dan sendiri membulat dalam keramaian...
Maka saat itu kita sedang memberi makna tentang KETANGGUHAN...

• Ketika kita harus membayar biaya yang sebenarnya tak perlu kita tanggung...
Maka saat itu kita sedang belajar tentang KEMURAHHATIAN...

• Bersama kesulitan ada kemudahan... Bersama Kesulitan ada kemudahan...
Jangan pernah merugikan dan menyakiti orang lain...
Allah maha meliihat dan mendengar rintihan hatimu: BERDOALAH...

• Tetap semangat, sabar, tersenyum...
Dan Terus belajar... Karena kamu sedang menimba ilmu di Universitas KEHIDUPAN...

• Dia menaruhmu di tempat yang sekarang, bukan karena kebetulan...
Ada maksud yang TERINDAH di setiap rencanaNya... Bergembiralah!



https://www.facebook.com/pages/Sudah-Tahukah-Anda-/552604344753557



                            "KENGERIAN SAAT MELINTASI SHIRATHAL MUSTAQIM"

Pernahkah kita membayangkan menyeberangi sebuah jembatan yang begitu kecil dan tipis seukuran sehelai rambut dibelah tujuh? Begitulah kira-kira kalau kita mengumpamakan Jembatan Shirthal Mustaqim kelak. Sebuah jembatan yang akan menghubungkan Surga dan Neraka.

"Rasulullah SAW mengumpamakan bahwa sifat titian itu adalah lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang." (HR. Ahmad)

Lalu seperti apakah kelak umat manusia dapat melintasinya?
Perjalanan umat manusia di atas Sirathal Mustaqim dapat ditempuh dengan bermacam-macam keadaan. Hal itu tercermin dari bagaimana mereka menghabiskan semua waktunya saat hidup di dunia. Berikut adalah macam-macam golongan manusia yang melintasinya:

- Ada golongan yang dapat melintasinya secepat kilat.
- Ada golongan yang dapat melintasinya seperti tiupan angin.
- Ada golongan yang dapat melintasinya seperti burung terbang.
- Ada golongan yang dapat melintasinya seperti kecepatan kuda lomba.
- Ada golongan yang dapat melintasinya secepat lelaki perkasa.
- Ada golongan yang dapat melintasinya secepat binatang peliharaan.
- Ada golongan yang dapat melintasinya dalam jangka waktu sehari semalam.
- Ada golongan yang dapat melintasinya dalam waktu selama satu bulan.
- Ada golongan yang dapat melintasinya selama bertahun-tahun.
- Ada golongan yang dapat melintasinya selama 25 ribu tahun.
- Ada golongan yang dapat melintasinya dengan tertatih-tatih.
- Ada golongan yang langsung terjatuh ke jurang api Neraka.


Rasulullah SAW bersabda, "Dan diletakkan sebuah jembatan di atas Neraka Jahannam, lalu aku dan ummatku menjadi orang pertama yang meniti di atasnya. Para Rasul berdoa pada hari itu: ‘Ya Allah, selamatkan! Selamatkan! Di kanan kirinya ada pengait-pengait seperti duri pohon Sa'dan. Pernahkah kalian melihat duri pohon Sa’dan?"

Para sahabat menjawab, "Pernah, Ya Rasulullah."

Lalu Rasulullah SAW melanjutkan, "Sesungguhnya pengait itu seperti duri pohon Sa'dan, namun hanya ALLAH yang tahu besarnya. Maka banyak ummat manusia yang disambar dengan pengait itu sesuai dengan amal perbuatannya di dunia." (HR. Muslim)

"Suasana pada saat itu sangatlah mengerikan. Suara teriakan, raungan, jeritan meminta tolong, tangisan, dan ketakutan terdengar dari pelbagai arah. Lebih mengerikan suara gemuruh api neraka dari bawah sirath yang siap menelan orang terjatuh ke dalamnya. Tidak henti-henti Rasulullah SAW dan Nabi-Nabi yang lain termasuk juga malaikat berdoa untuk keselamatan manusia:

“Ya Allah, Selamatkan! selamatkan!"

"Ia (jembatan shirath) adalah sebuah jalan yang sangat licin. Dan kaki sulit sekali berdiri di atasnya." (HR. Muslim)

Sahabat STA yang dirahmati Allah,

Sirath di akhirat ini adalah wujud hasil daripada titian (jalan) hidup yang kita pilih selama tinggal di dunia. Buah dari segala apa yang telah kita perbuat selama hidup di dunia. Barangsiapa yang selalu memilih di jalan Allah dan bepegang teguh dengan syariat Islam, maka sirath di akhirat ini akan mudah dilalui untuk sampai ke Surga.

Akan tetapi sebaliknya,
Jika kita jalani hidup penuh dengan kemaksiatan, maka bersiap-siaplah diterkam api Neraka yang berkobar-kobar menyala di dalam Neraka. (sen)

Na'udzu billahi min dzalik.
Marilah sama-sama bertaubat sebelum terlambat

https://www.facebook.com/pages/Sudah-Tahukah-Anda-/552604344753557


Rabu, 28 November 2012


:: Azab Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat ::

- Dosa Meninggalkan Shalat Fardhu:

1. Shalat Subuh : satu kali meninggalkan akan dimasukkan ke dalam neraka selama 30 tahun yang sama dengan 60.000 tahun di dunia.

2. Shalat Dzuhur : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan membunuh 1.000 orang umat Islam.

3. Shalat Ashar : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan menutup/meruntuhkan ka‘bah.
4. Shalat Maghrib : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan berzina dengan orangtua.

5. Shalat Isya : satu kali meninggalkan tidak akan di ridhoi Allah SWT tinggal di bumi atau di bawah langit serta makan dan minum dari nikmatnya.

- 6 Siksa di Dunia Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu:

1. Allah SWT mengurangi keberkatan umurnya.

2. Allah SWT akan mempersulit rezekinya.

3. Allah SWT akan menghilangkan tanda/cahaya shaleh dari raut wajahnya.

4. Orang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai tempat di dalam islam.

5. Amal kebaikan yang pernah dilakukannya tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.

6. Allah tidak akan mengabulkan doanya.

- 3 Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Menghadapi Sakratul Maut:

1. Orang yang meninggalkan shalat akan menghadapi sakratul maut dalam keadaan hina.

2. Meninggal dalam keadaan yang sangat lapar.

3. Meninggal dalam keadaan yang sangat haus.

- 3 Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu di Dalam Kubur:

1. Allah SWT akan menyempitkan kuburannya sesempit sempitnya.

2. Orang yang meninggalkan shalat kuburannya akan sangat gelap.

3. Disiksa sampai hari kiamat tiba.

- 3 Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Bertemu Allah

1. Orang yang meninggalkan shalat di hari kiamat akan dibelenggu oleh malaikat.

2. Allah SWT tidak akan memandangnya dengan kasih sayang.

3. Allah SWT tidak akan mengampunkan dosa dosanya dan akan di azab sangat pedih di neraka.

Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguh antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adl meninggalkan shalat.”

Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu ia
berkata “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka adl shalat mk barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.

‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakan tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut krn meremehkan keberadaan mk ia mendapatkan janji dari sisi Allah utk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakan maka tidak ada bagi janji dari sisi Allah jika Allah menghendaki Allah akan mengadzab dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.

Semoga bermanfaat



Mereka di Gaza shalat hanya di atas tanah.
Kita di sini shalat di atas sajadah.

Mereka di sana shalat dengan suasana letupan.
Kita di sini shalat dengan suasana yang aman.

Tapi,

Kenapa kita di sini masih ada yang susah/malas untuk shalat?

https://www.facebook.com/pages/Sudah-Tahukah-Anda-/552604344753557




Minggu, 16 September 2012


Jama’ah Asy – Syahadatain
                  Pada awalnya adalah sebuah komunitas atau perkumpulan pengajian di sebuah desa kecil di panguragan Cirebon jawa barat yang di ajarkan oleh ulama ahlul bayt  yaitu Habib Umar bin ismail bin yahya atau masyarakat sekitrnya mengenalnya dengan Abah Umar yang di mulai kurang lebih pada tahun 1923, di mana pada tahun itu Abah umar melihat ummat islam di lingkungan nya telah hilang Ruh atau kekuatan ke islamanya akibat dari penjajahan belanda yang ber abad abad

Habib Umar Bin Ismail Al Yahya

Di mulainya pengajian Abah umar yang memfokuskan tentang penjernihan , membangkit kan ajaran islam dan untuk mendalami dua kalimat syahadat dan mengamalkan nya dalam kehidupan sehari hari dengan rutin mengistiqomahkan wirid syahadat , sholawat dan menghidupkan semua perkara sunnah , seperti sholat sunnah rawatib, menggunakan jubah/gamis,sorban dan wangi wangian dan bertawasul sesuai yang di ajarkan para pendahulunya dan datuknya yaitu Rosulullah SAW
Lambat laun pengajian Abah umar ini identik dengan sebutan Ngaji Syahadat menjadi ramai dan banyak warga masyarakat yang datang dari luar daerah cirebon ingin belajar tentang syahadat yang di ajarkan abah umar dan menjadi sebuah kelompok pengajian yang masyarakat dan para pengikutnya menyebut Jamaa’ah Asy – Syahadatain dimana pada tahun itu apabila ada sekelompok orang yang berkegiatan apapun tanpa ada identitas namanya akan di anggap pemberontak
Kini Jamaah Asy – Syahadatin telah ada hampir di seluruh penjuru Indonesia bahkan Malaysia brunei dan beberapa Negara tetangga lainya

Senin, 10 September 2012


Dzikir itu bermacam-macam. Sedangkan Yang Didzikir hanyalah Satu, dan tidak terbatas. Ahli dzikir adalah kekasih-kekasih Allah. Maka dari segi kedisiplinan terbagi menjadi tiga:
Dzikir Jaly
Dzikir Khafy 
Dzikir HaqiqiDzikir Jaly (bersuara), dilakukan oleh para pemula, yaitu Dzikir Lisan yang mengapresiasikan syukur, puhjian, pebngagungan nikmat serta menjaga janji dan kebajikannya, dengan lipatan sepuluh kali hingga tujuh puluh.Dzikir Batin Khafy (tersembunyi) bagi kaum wali, yaitu dzikir
dengan rahasia qalbu tanpa sedikit pun berhenti. Disamping terus menerus baqa' dalam musyahadah melalui musyahadah kehadiran jiwa dan kebajikannya, dengan lipatan tujuh puluh hingga tujuh ratus kali.
Dzikir Haqiqi yang kamil (sempurna) bagi Ahlun-Nihayah (mereka yang sudah sampai di hadapan Allah swt,) yaitu Dzikirnya Ruh melalui Penyaksian Allah swt, terhadap si hamba. Ia terbebaskan dari penyaksian atas dzikirnya melalui baqa'nya Allah swt, dengan symbol, hikmah dan kebajikannya mulai dari tujuh ratus kali lipat sampai tiada hingga. Karena dalam musyahadah itu terjadi fana', tiada kelezatan di sana.

Ruh di sini merupakan wilayah Dzikir Dzat, dan Qalbu adalah wilayah Dzikir Sifat, sedangkan Lisan adalah wilayah Dzikir kebiasaan umum. Mananakala Dzikir Ruh benar, akan menyemai Qalbu, dan Qalbu hanya mengingat Kharisma Dzat, di dalamnya ada isyarat perwujudan hakikat melalui fana'. Di dalamnya ada rasa memancar melalui rasa dekatNya.

Begitu juga, bila Dzikir Qalbu benar, lisan terdiam, hilang dari ucapannya, dan itul;ah Dzikir terhadap panji-panji dan kenikmatan sebagai pengaruh dari Sifat. Di dalamnya ada isyarat tarikanpada sesuatu tersisa di bawah fana' dan rasa pelipatgandaan qabul dan pengungkapan-pengungkapan.

Manakala qalbu alpa dari dzikir lisan baru menerima dzikir sebagaimana biasa.

Masing-masing setiap ragam dzikir ini ada ancamannya.
Ancaman bagi Dzikir Ruh adalah melihat rahasia qalbunya. Dan ancaman Dzikir Qalbu adalah melihat adanya nafsu dibaliknya. Sedangkan ancaman Dzikir Nafsu adalah mengungkapkan sebab akibat. Ancaman bagi Dzikir Lisan adalah alpa dan senjang, maka sang penyair mengatakan :

Dialah Allah maka ingatlah Dia
Bertasbihlah dengan memujiNya
Tak layaklah tasbih melainkan karena keagunganNya
Keagungan bagiNya sebenar-benar total para pemuji
Kenapa masih ada 
Pengandaian bila dzikir-dzikir hambaNya diterima?
Manakala lautan memancar, dan samudera melimpah
Berlipat-lipat jumlahnya
Maka penakar lautan  akan kembali pada ketakhinggaan
Jika semua pohon-pohon jadi pena menulis pujian padaNya
Akan habislah pohon-pohon itu, bahkan jika dilipatkan
Takkan mampu menghitungnya.
Dia ternama dengan Sang Maha Puji
Sedang makhlukNya menyucikan sepanjang hidup
Bagi kebesaranNya.

Perilaku manusia dalam berdzikir terbagi tiga   Khalayak umum yang mengambil faedah dzikir   Khalayak khusus yang bermujahada  Khalayak lebih khusus yang mendapat limpahan hidayah  Dzikir untuk khalayak umum, adalah bagi pemula demi penyucian. Dzikir untuk khalayak khusus sebagai pertengahan, untuk menuai takdir. Dan dzikir untuk kalangan lebih khusus sebagai pangkalnya, untuk waspada memandangNya  Dzikir khalayak umum antara penafian dan penetapan (Nafi dan Itsbat  Dzikir khalayak khusus adalah penetapan dalam penetapan (Itsbat fi Itsbat)  Dzikir kalangan lebih khusus Allah bersama Allah, sebagai penetapan Istbat (Itsbatul Istbat), tanpa memandang  hamparan luas dan tanpa menoleh selain Allah Ta'ala  Dzikir bagi orang yang takut karena takut atas ancamanNya  Dzikir bagi orang yang berharap, karena inginkan janjiNya Dzikir bagi penunggal padaNya dengan Tauhidnya Dzikir bagi pecinta, karena musyahadah padaNya Dzikir kaum 'arifin, adalah DzikirNya pada mereka, bukan dzikir mereka dan bukan bagi mereka Kaum airifin berdzikir kepada Allah swt, sebagai pemuliaan dan pengagungan Ulama berdzikir kepada Allah swt, sebagai penyucian dan pengagungan Ahli ibadah berdzikir kepada Allah swt, sebagai rasa takut dan berharap pencinta berdzikir penuh remuk redam Penunggal berdzikir pada Allah swt dengan penuh penghormatan dan pengagungan.Khalayak umum berdzikir kepada Allah swt, karena kebiasaan belaka.
[pagebreak] Hamba senantiasa patuh, dan setiap dzikir ada yang Diingat, sedangkan orang yang dipaksa tidak ada toleransi.

Tata cara Dzikir ada tiga perilaku :
1. Dzikir Bidayah (permulaan) untuk kehidupan dan kesadaran jiwa.
2. Dzikir Sedang untuk penyucian dan pembersihan.
3. Dzikir Nihayah (pangkal akhir) untuk wushul dan ma'rifat.
Dzikir bagi upaya menghidupkan dan menyadarkan jiwa, setelah seseorang terlibat dosa, dzikir dilakukan dengan syarat-syaratnya, hendaknya memperbanyak dzikir :
"Wahai Yang Maha Hidup dan Memelihara Kehidupan, tiada Tuhan selain Engkau."

Dzikir bagi pembersihan dan penyucian jiwa, setelah mengamai pengotoran dosa, disertai syarat-syarat dzikir, hendaknya memperbanyak :
"Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Hidup nan Maha Mememlihara Kehidupan."

Ada tiga martabat dzikir :
Pertama, dzikir alpa dan balasannya adalah terlempar, tertolak dan terlaknat.
Kedua, dzikir hadirnya hati, balasannya adalah kedekatan, tambahnya anugerah dan keutamaan anugerah.
Ketiga, dzikir tenggelam dalam cinta dan musyahadah serta wushul. Sebagaimana dikatakan dalam syair :

Kapan pun aku mengingatMu, melainkan risau dan gelisahku
Pikiranku, dzikirku, batinku ketika mengingatMu,
Seakan Malaikat Raqib Kau utus membisik padaku
Waspadalah, celaka kamu, dzikirlah!
Jadikan pandanganmu pada pertemuanmu denganNya
Sebagai pengingat bagimu.

Ingatlah, Allah telah memberi panji-panji kesaksianNya padamu
Sambunglah semua dari maknaNya bagi maknamu
Berharaplah dengan dengan menyebut kebeningan dari segala yang rumit
Kasihanilah kehambaanmu yang hina dengan hatimu
Siapa tahu hati menjagamu

Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga hal :
  • Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt, merupakan pengapus dosa dan peningkatan derajat.
  • Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk berdialog dengan Allah swt, merupakan kebajikan luhur dan taqarrub.
  • Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt, Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi kehadiran jiwa dan musyahadah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada wal penempuhannya  memperbanyak membaca "Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan NurNya pada qalbunya dan menguatkan tauhidnya.

Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu Ahad" seratus kali maka ia telah membeli dirinya dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala, dan ada suara berkumandang dari sisi Allah Ta'ala di langit-langitNya dan di bumiNya, "Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah orang yang dimerdekakan Allah, maka barang siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan hendaknya ia mengambil dari Allah swt .

Diriwayatkan pula: "Siapa yang memperbanyak Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan memperbanyak rizkinya, serta mengampuni dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung. Allah memberikan jalan keluar di setiap kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan ia lagi bangkrut. Segala sesuatu mengandung siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah alpa dari hadirnya hati dalam dzikir."[pagebreak]

Dalam hadits sahih disebutkan:
"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu, memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu dan tauhid adalah wacananya.

Pintu dzikir itu tafakkur, 
Pintu pemikiran adalah kesadaran. 
Sedang pintu kesadaran zuhud. 
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang beranak pinak di sana.

Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu pun bisa mengancam dan membahayakannya. Sebagaimana  dinkatakan :
"Dengan Nama Allah,  tak ada satu pun di bumi dan juga tidak di langit yang membahayakan, bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad  (Allah) ini, menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah", masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak akan menemukan hakikat, karena adanya hasrat kemakhlukan.

Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima. Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan, simbol, khayalan dan imajinasi.  Namun Allah swt, ridlo kepada kita dengan hal demikian, bahkan memberi pahala, karena memang tidak ada jalan lain dalam berdzikir, mentauhidkan, dari segi ucapan maupun perilaku ruhani kecuali dengan menyebut Ismul Mufrad tersebut menurut kapasitas manusia dari ucapan dan pengertiannya.

Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari kaum 'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan model di atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya adalah maqom yang dimaklumi."

Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba, memberikan keistemewaan pada hambaNya. Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.

Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu faktor tertentu, namun muncul dari pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh dengan ma'rifat dan pengagungan padaNya, disertai penghormatan yang sempurna dan penyucian sejati, memandang anugerah, maka ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala, benar-benar berdzikir dan mengagungkanNya dan mengenal kekuasaanNya.

Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya, sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.

Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan mereka dan mereka tidak bersama mereka dan tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki baginya."

Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia disucikan
Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa 
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya pangkal penghabisan.